Jumat, 05 April 2013

kerupuk jangek

Akhir maret 2013, di sebuah rumah makan ayam penyet di seputaran simpang jalan  Ayahanda dan  Gatot Subroto. Malam seperti biasa aku dan temanku memutuskan untuk makan malam di tempat ini. Sesudah memesan makanan seseorang menghampiri meja kami dan dia menawarkan dagangannya.
"jangek bang...". Katanya sambil meletakkan beberapa bungkus kerupuk jangek di meja kami
"gak dek, makasih". Ucapku dengan hanya melirik tangannya yang kusam memegang kerupuk jangek tersebut tanpa memandang wajahnya karena aku terlalu sibuk untuk membalas beberapa pesan bbm dari teman-temanku.
Makanan kami pun tiba dan sesaat  kami dengan lahapnya menyantap makanan tersebut, terdengar kericuhan di luar rumah makan tersebut, terlihat seseorang dengan bungkusan plastik besar dikejar oleh seorang yang tampaknya lebih tua darinya serta lebih kekar badannya. Dan sosok yang dikejar tersebut, yang rupanya penjual kerupuk jangek tadi,  akhirnya terpojok karena larinya terhalang oleh belasan sepeda motor yang terparkir di pertokoan sebelah. Dia dengan telapak tangan disatukan dan diangkat di atas kepala sembari berseru:
"ampun bang.. ampun, jangan pukul aku, tolong bang.." ucapnya memelas tak henti.
Seakan tak mendengar permohonannya, orang yang mengejar itu tersebut memukuli wajahnya dengan membabi-buta hingga wajahnya bermandikan darah. Saat itu sontak aku melompat dari tempat dudukku, tetapi sebelum aku berbuat banyak orang-orang yang di dekat mereka sudah melerai mereka. Akupun duduk kembali dan melanjutkan makanku namun tetap mataku tertuju pada sosok penjual kerupuk jangek tersebut. Dia menyeka wajahnya yang bercampur darah dan air mata, hanya seorang saja temannya yang menemani sementara beberapa orang tampak menghalau orang yang memukul tersebut agar tidak memukul lagi, karena tampak di wajahnya dia begitu geram dan ingin memukul lagi. 
Dan aku tiba-tiba merasa sedih, ternyata penjual kerupuk jangek tersebut,  perawakan dan warna kulitnya mirip adekku yang bungsu. Lalu aku membayangkan bagaimana seandainya dia itu adalah adekku, dipukuli tanpa ada yang menolong, terisak-isak tanpa ada yang menyeka air matanya, meringis kesakitan karena luka yang mengeluarkan darah. Mataku berlinang dan hampir saja menitikkan air mata yang kemudian aku seka biar tidak sampai menetes. Kembali aku melirik ke arahnya dan di ujung sana dia sembari terisak menatapi kerupuk jangeknya yang sebagian telah hancur karena mungkin tertimpa olehnya atau orang-orang yang melerai tadi. Miris....
Sesudah selesai makan kamipun beranjak menuju parkiran dan si penjual kerupuk jangek tersebut  ternyata sudah berlalu ke suatu tempat yang agak jauh dari rumah makan tersebut. Tiba-tiba ada seseorang yang menyapaku yang ternyata seorang pengamen yang sudah cukup akrab denganku dan dia rupanya salah satu yang melerai tadi, aku pun bertanya kepadanya,
"bro, tadi kenapa sampek kek gitu?" 
"biasa bang, rebutan lahan jualan, si kawan tadi jualan disini sementara ini daerahnya yang mukul tadi, ga trima dia bang, langsung dihajarnya, ya kami pungak beranilah macam-macam bang, cukup kami pisahkan aja", terangnya.
"oh begitu ya bro?", tanyaku memastikan.
"ya lah bang", jawabnya.
Akupun permisi dan berlalu dari tempat itu dan melewati kerumunan orang-orang dimana salah satunya adalah si pemukul tersebut. Tampaknya dia masih geram dan tetap berceloteh seakan membela diri. Saat itu aku geram melihantya. 
Wajah si penjual kerupuk jangek itu masih terlintas di benakku dan dapat kutaksir usianya masih muda, mungkin masih duduk di bangku SMA. Di saat orang-orang seusianya sibuk dengan belajar atau jalan-jalan di mall atau sibuk dengan geng motornya, dia sudah sibuk dengan jualannya dan harus berjibaku untuk berebut lahan jualan. Kasihan, mungkin itu yang terlintas di benak kita, ya memang kasihan, tapi jujur aku salut dan hormat melihat orang-orang seperti itu. Satu pertanyaan besar buat kita, bagaimana seandainya posisi penjual kerupuk jangek itu digantikan oleh adek, kakak, abang, bapak atau saudara kita? Bagaimana seandainya mereka yang kita kasihi yang diperlakukan sedemikian? 
Mari kitra renungkan dan ambil hikmah dari kejadian di atas.
Terima kasih sudah membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar